Kamu dan Rencanamu, Aku dan....







"Jadi, kita gimana?"

-------------------------------------------------------------------------------------------
Manusia tidak bisa hidup sendiri bukan? Setiap pertemuan dan perpisahan terjadi setiap detiknya, baik karena sebuah alasan atau untuk suatu alasan. Perkenalan terjadi antara satu dengan lainnya, garis garis cerita mulai bersimpangan, saling bertemu berpapasan, terus sejalan, atau mungkin... kembali memisahkan diri di sebuah tikungan.

Seperti saat ini, Aku masih mengaduk aduk minumanku, es batu didalam gelas ini mulai mencair seiring perubahan suhu yang dialaminya. Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Aku teringat salah satu kutipan yang diucapkan guru sejarahku saat Aku duduk di kelas 2 sekolah menegah atas. Kala itu, Aku berpikir bahwa sama halnya dengan pertemuan, perubahan juga datang karena sebuah alasan atau untuk sebuah alasan.


"Udah lama?" Suara derit bangku datang bersamaan dengan suaramu.

"Ngga, baru kok." Sahutku.

"Oh, baru ya? Sampe es batunya udah cair gitu." Katamu sambil tersenyum.

"Iya, baru 1 jam maksudnya." Jawabku.

Ia tertawa.

Laki - laki di hadapanku ini adalah laki laki yang kukenal sekitar 4 tahun silam. Tinggi, tatapannya tajam, humornya receh, hobi bicara, senyumnya menular, dan.... fansnya banyak. Untungnya Ia tidak sadar. Jangan beri tahu dia ya! Nanti dia ge-er.

Klise, pertemanan masa putih abu-abu. Hidup dalam khayalan akan masa-masa yang katanya paling indah, menikmati setiap detiknya tanpa takut akan hal yang terjadi kedepannya. Paling banter berpikir tentang 'mau kuliah dimana habis ini?' Sisanya main-main, sibuk membuat kisah baru yang kelak akan diingat selalu.

Kami sekelas, maksudku pernah sekelas. Dari sekian banyak manusia di kelas itu, entah kenapa harus kami yang ceritanya bersimpangan, bertemu-bercerita-bercanda-nyaman-namun enggan mengungkapkan. Berlindung dibalik kata teman, entah kami yang terlalu nyaman atau kami yang terlalu takut apabila suatu hari akan saling melepaskan.

Cerita ini masih berjalan, mungkin sampai saat ini. Mungkin.

Entah masih sejalan atau hanya bersisian namun lain tujuan.

-------------------------------------------------------------------------------------------
01.03 a.m
Abi Atharaf : Ca, Gue mau ngomong     
Abi Atharaf : Tapi ini bukan ngomong si
Abi Atharaf : Kaya open forum

Aku diam, chatnya malam itu. Berbulan bulan setelah -ku anggap- kami sedekat itu. Biasanya ada hal penting yang ingin Dia sampaikan kalau Ia meminta izin seperti itu.

01.07 a.m
Fesya : Kenapa?
Fesya : Tumben izin, biasanya juga langsung ngomong wkwk

01.10 a.m
Abi Atharaf : Serius dulu tapi ya, jangan di potong sebelum Gue selesai.

Baiklah, sepertinya hari itu Aku tidak akan bisa tidur.

Kemudian mengalirlah setiap kata katanya, penjelasan penjelasan atas sikapnya, alasan dibalik keputusannya, tujuannya selama ini, juga permintaan maafnya atas ketidakpastian yang telah Ia pilih. Bersama namun tak saling berikatan.


Malam itu adalah satu dari sekian banyak kejadian yang ku inginkan, mendapat jawaban atas setiap pertanyaanku tentangnya. Jawaban atas segala keraguan yang mulai tampak. Namun, setelah malam itu, Aku lagi lagi berpikir. Apakah cukup? Apakah ini yang memang Aku inginkan?


Aku dirundung keraguan, lebih daripada sebelumnya. Perasaan ingin memiliki itu timbul lebih kuat berkat keyakinan bahwa Ia juga merasakan hal yang sama. Egoisku muncul bersama dengan anggapan Ia milikku.

Setalahnya ini semakin kacau, Aku yang sering bertanya tanya sendiri kemana Dia, rasa tak percayaku, nampak lagi raguku, semuanya menyulitkanku. Ini bukan lagi Aku yang bisa santai saat Ia hilang berjam jam, bukan lagi Aku yang cuek ketika Ia sibuk bersama teman temannya, Aku yang ingin selalu menjadi prioritasnya, Aku yang ingin selalu mendapat kabarnya, juga Aku yang malah membuatnya risih, dan mungkin ingin berhenti.

-------------------------------------------------------------------------------------------

"Gimana sekarang di tempat baru? Betah?'

Nggak, gak ada Lo.

"Betah betah aja si, anaknya asik asik." Jawabku.

"Bagus deh, cepet kelar ya biar bisa kumpul disini lagi." Katamu.

"Santai, ini juga lagi usaha. Lo gimana? Enak dong ya di kota sendiri. Gak perlu adaptasi lagi."

"Adaptasi tuh perlu di setiap perubahan, sekecil apapun perubahan itu. Paham kan Lo? Kecuali temen temen Gue modelnya kayak Lo semua. Gak perlu tuh adaptasi." Kamu tertawa, dan Aku tidak dapat menolak untuk ikut tertawa.

Kenyataannya, Kamu benar. Adaptasi itu perlu sekecil apapun perubahan itu. Termasuk Aku yang kemudian menyadari harus beradaptasi pada apa apa yang terjadi diantara kita, semuanya. Termasuk perubahanmu, ah tidak, perubahan kita setelah malam itu.

------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku memberanikan diri, 
Menikam egoku,  

sekali lagi. 

Keingintahuanku,
Tentang apa yang terjadi saat ini, 
Tentang keinginanku yang lebih dari ini.

"Gue gak bisa kayak gini. Gue juga butuh perhatian perhatian kecil dari Lo, terutama kabar. Gue butuh, Bi. Gue gak bisa terus terusan nebak apa yang Lo lakuin, apa yang ada di kepala Lo, apa keinginan Lo selanjutnya." Ucapku.

Dia diam.

"Lo mau tau kenapa? Karena Gue takut, Gue takut jatuh sama Lo yang nanti akhirnya Gue gak bisa kontrol diri Gue sendiri, Gue gak mau Lo dominan di hidup Gue. Gue muak sama hal hal kaya gitu, Gue raja atas diri Gue sendiri, Gue gak mau nantinya hidup Gue cuma berporos sama Lo. Gue berhak hidup atas diri Gue sendiri, tanpa pemikiran pemikiran tentang Lo yang bakal ngehambat Gue ngelakuin hal yang Gue mau. Bukan Gue gak sayang Lo, malah Gue takut buat terlalu sayang Lo." Jawabnya.

Aku diam, begitukah?

"Seenggaknya Gue butuh kabar. Apa Lo gak butuh kabar Gue juga?" Jawabku parau.

"Lo maunya gimana? Gue laporan setiap menit? Atau Lo mau Gue tanya kabar Lo semacam udah makan? Jangan lupa ini jangan lupa itu? Basi tau gak. Hal kayak gitu bisa kita atasin sendiri, gak butuh orang lain buat ngingetin kita setiap saat."

"Lo gak sayang Gue sebanyak Gue sayang Lo. Tingkah Lo ke orang lain dan ke Gue sama aja, gak ada bedanya." Tandasku, pertahananku mulai pada batasnya.

"Oh, Lo punya alat ukur sayang ya? Jago banget Lo baca hati Gue. Haha, konyol tau gak!"

Pertahananku hancur, titik titik air melewati pipiku.

"Listen, gak ada orang yang gak sayang kalau di setiap rencananya ada nama Lo. Lo tinggal duduk manis, tunggu Gue. Gue lagi berusaha untuk gak terlalu lama, penantian Lo bakal seimbang sama kepastian yang nantinya akan Gue kasih. Lo cukup sabar, temenin Gue. Itu aja cukup."

Aku semakin tersedu. Pelukannya malam itu kemudian membuatku mengerti apa tujuannya, sebenarnya.

-------------------------------------------------------------------------------------------

Ujian adalah tolak ukur, apakah kita mampu untuk masuk ke jenjang selanjutnya yang lebih tinggi. Soal soal itu membuatku muak, kepalaku pening mengingatnya, tidak adakah yang lebih sulit lagi dari soal yang baru beberapa menit lalu ku kerjakan? Oh, God.

"Bisa kan?" Tanyanya.

"Eneg Gue liat soalnya, huwekkk." Aku bergidik, Dia tertawa.

"Eskrim yuk? Biar adem kepala Lo." Dan Aku tidak bisa berkata tidak pada dessert yang satu itu.

Kami duduk di sebuah warung kecil bersama eskrim cone di tangan masing masing. Aku sibuk dengan eskrimku sampai lupa bahwa ada Dia disebelahku.

Satu colekan mampir ke pipiku dengan rasa dingin, Ia mulai lagi menjadikan eskrim senjata untuk menyerangku.

"Bisa gak si Lo diem dulu, eskrim Gue belom abis ih!" Bentakku.

"Makannya lama banget Lo, amit amit dah. Gak pake ngunyah juga, tinggal telen doang seabad." Ledeknya

"Bacot."

Kemudian, colekan colekan bersama eskrim diujung telunjuknya mengotori hampir sebagian besar wajahku.

Perang!

Lihat, sekarang tak hanya wajahku yang terkena cipratan eskrim. Seluruh bagian tangan kami hingga ke pergelangan tangan berlumuran eskrim, begitupun dengan jaket yang Aku kenakan, sweaternya, celananya, rokku, bahkan hingga tasku pun menjadi korbannya.

Tunggu, lantai dibawah kami juga penuh dengan eskrim.

"Bi, liat deh. Ini kotor semua lantainya." Ucapku sambil memperhatikan lantai yang kuinjak.

"Gara gara Lo nih. Fix kita di blacklist." Ucapnya.

"Bi, kabur yuk." Ucapku pelan.

"1...2...."

"Woy, tungguin!"

Sial! 

Dia colong start.

--------------------------------------------------------------------------------------------------

Nafasku tersengal, Aku duduk di dekat gerbang rumahku. Dia masih sibuk melepas helmnya, nafasnya juga tersengal.

"Gila ini ngosngosan gini main salah salahan doang dari tukang eskrim sampe depan rumah." Kataku.

"Lo bacot." jawabnya.

"Ngaca pak!" Aku tertawa.

"Kenapa sih main sama Lo tuh capenya sebadan badan, tenggorokan radang, kaki capek, tangan capek, badan ngeretek. Baju, sepatu kotor gini. Siksaan banget Lo." Katanya.

"Tapi seneng kan?" Godaku.

"Seneng gak yaa, gak seneng deh." Katanya.

Aku merengut. "Bohong."

"Iya gak seneng, tapi seneng banget. Puas prinses?" Ledeknya.

Aku tertawa.

"Udah ah Gue balik, jangan kangen!" Katanya.

Kemudian dia berlalu.

---------------------------------------------------------------------------------------


Kita terpisah sekian rartus kilometer jaraknya, Kamu katakan bahwa jarak hanya satuan panjang yang dapat terukur. Sisanya itu tentang bagaimana kita menyikapinya, semua terjadi karena niat yang muncul dari kita sendiri, jangan salahkan jarak.

"Gue minta Lo nunggu, bukan buat membatasi Lo. Silahkan pindah kalau Lo ngerasa dapet yang lebih dari Gue nantinya." Ia berucap saat kami hampir tiba di bandara.

"Iya." Dasar cengeng. Aku ingin menangis lagi rasanya.

"Jangan macem macem, fokus aja biar cepet cepet balik ke sini." Katanya.

"Jangan sering telat makan, sarapan. Tidur jangan pagi terus, nanti sakit repot sendiri. Jangan manja, nanti baru seminggu minta pulang. Jangan...."

"Katanya yang kaya gini basi? gak butuh orang lain buat ngingetin?" Ucapku sambil tesenyum, Ia pernah mengatakan itu sebelumnya.

"Berhubung kita mau jauh jauhan ya.... gapapalah, ya." Ia mengusap tengkuknya, yang Aku yakin tidak gatal sama sekali.

Aku tertawa.

"Sering pulang, inget rumah disini." Katanya sambil menekankan kata rumah sebelum Aku  benar benar pergi.

"Iyaaa, semangat juga ya disini! Biar cepet selesai, biar Gue gak nunggu lama." Kataku.

Ia tersenyum.

Semoga, Aku kembali dan Dia masih disini.

Semoga.....

-------------------------------------------------------------------------------------------

"Eskrim yuk, gak asik banget nongkrongnya cuma di cafe gini."

"Yukkk, ah kangen eskrim." Aku mengambil tasku dan bangun dari tempat dudukku.

Sama seperti waktu itu, Aku dengan eskrimku juga Kamu juga dengan eskrim di tanganmu.

Lagi-lagi Aku sibuk dengan eskrimku hingga lupa Kamu dan segala kejahilanmu.

Lagi-lagi satu colekan mengenai pipiku.

"Diem, malu. Udah gede gini." Aku melirikmu tajam.

Kamu tertawa, renyah. Aku tertular tawamu.

"Sabar ya, sedikit lagi Gue makin deket sama rencana rencana Gue." Katamu sambil mengusap kepalaku.

"Iyaa, ngerti. Sabar kok Gue." Jawabku.

Sabar banget malah. Tambahku dalam hati.

---------------------------------------------------------------------------------------------


"Makasih hari ini." Ucapku sambil bersandar di pagar rumahku. Kamu masih sibuk melepas helm mu.

"Sama-sama. Besok pisah lagi ya kita?" Katamu.

Aku mengangguk.

"Udah ya, Gue balik. Besok jam berapa take off?" Tanyamu.

"Jam 8an." Jawabku.

"Yah, Gue ada kelas pagi. Maaf ya."

"Gapapa, Gue sama bokap."

Aku kemudian diam.

"Tumben gitu doang responnya, biasanya bawel. Kesel Gue gak bisa nganter?" Wajahnya setengah meledek. Tapi bukan itu yang menjadi alasan diamku.

Aku memainkan jariku, Aku ingin bertanya. Sekali lagi.

Hanya untuk memastikan.

"Bi, Jadi..... kita gimana?" Tanyaku, ragu.

Ia meletakan kembali helmnya. Kemudian kedua tangannya beralih ke pundakku.

"Apalagi yang Lo takutin?"

"Semuanya." Jawabku.

"Lo tau kan, ada nama Lo di setiap rencana yang Gue buat?"

Aku mengangguk.

"Terus apalagi yang Lo takutin. Percaya Gue bisa?."

Aku mengangguk.

"Sabar ya. Selebihnya keputusan ada di tangan Lo. Kalau Lo mau nyerah sekarang, Gue gakpapa" Katamu.

Aku tersenyum.

"Siapin rencana Lo. Gue bakal ngambek seumur idup kalau rencana yang ada di otak ruwet Lo itu gak terwujud" Sahutku.

Ia tersenyum.

"Take care. Inget ada cowok ganteng di sini yang lagi sibuk sama rencananya, jaga mata, jaga hati gak usah jelalatan nanti." Katamu.

"Siap, bos!"

"Gue beneran balik nih, tahan rindu, rindu itu berat. Kalo mau ringan harus ketemu!" Kamu mengacak rambutku.

"See ya, 3 bulan lagi?" Tanyamu ragu.

Aku mengangguk, kemudian Kamu benar benar pergi dari hadapanku.

Aku mengerti, 

Menunggu hanya masalah waktu kan?

Oh, tunggu tunggu...

Jadi Aku harus menunggu?

Lagi?

Jadi, sekarang jalan kita masih satu tujuan atau hanya bersisian?

Oh, God

Entahlah, Aku ingin tidur saja, lah!


-----------------------------------------------------------------------------------------------



Depok.
1.34 AM
29/12/2017






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gagal

Love The Life

Awal Segalanya